Senin, 01 Desember 2008

Modernisasi Genre Musik Sunda

Modernisasi Genre Musik Sunda

Musik pop Sunda adalah representasi dari kreativitas musisi Sunda. Genre musik ini tidak bisa melepaskan diri dari jasa almarhum Koko Koswara yang lebih populer dengan julukan “Mang Koko”. Ia sempat membidani kelahiran beberapa musisi pop Sunda untuk meramaikan jagat musik nusantra. Diantaranya adalah Nano S, musisi yang menggubah pop Sunda dengan cara menggabungkan degung kawih dan instrument musik Barat.

Kendati saya lahir pada tahun 1982, sekitar tahun 1990-an pernah mendengar lantunan suara Mang Koko. Ya, sekitar 5 tahun setelah kewafatan beliau, dengan berbekal kaset pop Sunda, saya pernah mendengar suara indah dan merdu darinya. Untung saja suara dan wajahnya disimpan dina kaset. Kalau tidak, mungkin suara dan jasadnya tak akan pernah saya kenal.

Beliau adalah salah satu pelopor awal musik pop sunda yang untuk konteks kekinian pamor seni musik ini kian meredup seiring gegap-gempitanya band Ungu, Peter Pan, Kangen band, dan musik-musik Barat kontemporer. Mang Koko terus eksis karena ia berkehendak dan bertindak dalam melestarikan suara khas Sunda yang memiliki gaya bicara seperti orang yang sedang bernyanyi, sebagai ciri khas dari identitas etnik.

Betul juga anggapan ini. Sebab, urang Sunda ketika berbicara akan menghasilkan nada-nada estetik. Tak percaya? Coba saja kita dengar masyarakat di sekitar Ciamis, Garut, Cianjur, Bogor dan daerah Sunda pegunungan lainnya ketika sedang berbicara. Pasti intonasinya berundak-undak membentuk oktap nada minor dan mayor.

Pelestarian warisan

Secara historis, menurut Edwin Juriens (2006) kelahiran musik Pop Sunda dibidani seniman Bandung (Nada Kantjana) pada tahun 1950-an. Mereka adalah pelopor dalam mengombinasikan lirik Sunda dengan instrumen-instrumen musik pop Barat di bawah pimpinan Muhammad Yassin. Setelah itu, tongkat estapet penciptaan musik pop Sunda diteruskan Djuhari dan Mang Koko.

Lewat hantaran media musik pop Sunda, setiap warisan Ki Sunda akan lebih tahan banting menangkal upaya pendegradasian jati diri lokal. Ini bisa kita lihat dalam struktur bahasa (baca: syair) Sunda yang disajikan secara sederhana dalam lagu pop Sunda. Untuk anak muda seangkatan saya, misalnya, kalau tidak pernah mendengar lagu-lagu berbahasa Sunda yang akrab ditelinga ditambah aransement yang enak didengar, boleh jadi kekayaan bahasa tidak akan bertambah.

Mungkin saja, saya, jajaka dan mojang Sunda lainnya akan lebih menjiwai alunan lagu Barat meskipun tidak kaharti karena ingin terlihat “gaul”. Makanya, dengan kehadiran musik Pop Sunda di belantika kesenian musik merupakan gerbang awal untuk melestarikan bahasa, identitas, filsafat hidup, dan produk budaya warisan Ki Sunda lainnya. Kita semestinya mampu menggunakan media kontemporer untuk kepentingan pelestarian khazanah kebudayaan Sunda yang di era reformasi ini eksistensinya kian banyak digugat dan dibicarakan pelbagai kalangan.

Di dalam perspektif cultural studies, definisi budaya pop – salah satunya musik pop Sunda – adalah budaya yang berasal dari rakyat, diterapkan dari rakyat dan merupakan budaya otentik rakyat (John Storey; Teori Budaya dan Budaya Pop; 2004). Ini bisa dibuktikan dengan aransemen ulang nyanyian-nyanyian rakyat Sunda, seperti “Cingcangkeuling” dan “Ayang-ayang Gung” pada tahun pertama kelahiran musik pop Sunda. Hal ini mengindikasikan bahwa pop Sunda berasal dari pengalaman masyarakat Sunda, hingga menghadirkan kesamaan rasa (antara pencipta, penyanyi dan pendengar).

Pengalaman rakyat

Musik pop Sunda merupakan salah satu produk kebudayaan yang dihasilkan dari dialektika musisi suku Sunda dengan pengalaman rakyat Sunda, kemudian dikemas secara estetik untuk menumbuhkan kembali kesadaran akan jati diri kesundaan. Dengan semangat modernisasi, mereka tidak terpaku pada alat-alat musik Sunda semata, melainkan mengolaborasikan dengan alat-alat musik Barat (diatonik) untuk melestarikan seni dan budaya hingga melahirkan genre musik pop Sunda.

Lagu “Neng Geulis”, “Bubuy Bulan”, “Es Lilin”, “Ayang-Ayang Gung”, dan masih banyak lagi; adalah gambaran riil pengalaman hidup para pencipta, penyanyi, serta penikmat musik pop Sunda. Tidaklah heran jika lagu pop Sunda kendati telah berusia kepala lima , pendengar seakan menikmati terus-menerus hingga terhanyut pada pengalaman masa lampau yang tersusun menjadi teks syair sederhana dalam sebuah lagu pop.

Tidak percaya? Mari kita sejenak merenungi lirik: “Neng geulis/Pujaan akang/Neng geulis/Akang hoyong teupang/Upami teu aya pameungan”. Apakah dengan lirik tersebut kita merasakan pengalaman yang sama ketika berhadapan dengan wanita yang disukai? Untuk orang tua sekarang, ketika masa pemuda dulu, saya kira pernah seseredetan hate dan kacida bungahna tatkala cintanya kepada wanoja yang menjadi istri sekarang diterima.

Kendati lirik “Neng Geulis” tersebut sederhana, namun memuat adanya kesamaan pengalaman antara pencipta lagu, penyanyi dan pendengar sehingga hanyut dalam suasana alam psikologis pribadi yang sama terasa. Ketika mengikuti alunan suara penyanyinya juga suara sumbang terasa berdendang, bahkan aliran nada yang berhamburan dari bibir terasa tersusun rapi merapatkan barisan laiknya tangga nada.

Dalam bahasa masyarakat kontemporer mungkin lebih tepat jika dikatakan bahwa musik pop Sunda memiliki pengaruh adiktif – kendati masih dapat kita perdebatkan. Oleh sebab itu, tak salah jika kita mengapresiasi genre musik pop Sunda untuk sekadar dijadikan media pemelihara seni dan budaya asli warisan Ki Sunda.

Baik warisan dalam bentuk bahasa, falsafah hidup, identitas, dan produk budaya lainnya untuk meredam “gelombang pasang” kemajuan zaman yang kian menggerus masyarakat Sunda pada sikap tak berbudaya. Alhasil, seni musik Sunda sebagai khazanah kebudayaan Indonesia mampu memberikan kontribusi pemikiran, tata-nilai, dan tauladan untuk bangsa ini. Wallahua’lam

Angklung - The Bamboo Shaker

Angklung - The Bamboo Shaker

A unique musical instrument found in South-East Asian countries is the Angklung, or "bamboo shaker". As the name suggests, the design and materials used are simple. Bamboo tubes of varying length are mounted on a bamboo frame. These are then shaken to produce different notes. Each bamboo rod is of different length and the top third is sliced in half. I have seen handheld versions of these that only have two bamboo tubes. As each one would only produce one note, you would need quite a few people to play a song. However, in these pictures you can see that each student is in charge of seven "bamboo swings" which they knock to produce the different notes. This version is called Angklung Lao. The resultant sound is quite unique.

Watch a video clip by clicking here.

These pictures were taken recently at the Ancient City in Samut Prakan.

http://www.thai-blogs.com/index.php?blog=5&title=angklung_the_bamboo_shaker&more=1&c=1&tb=1&pb=1

angklung

Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis kesenian yang disebut angklung dan calung. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih). Purwa rupa alat musik angklung dan calung mirip sama; tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan (batangan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.

Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.

Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung dan calung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).

Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Syair lagu buhun untuk menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut misalnya:

Si Oyong-oyong
Sawahe si waru doyong
Sawahe ujuring eler
Sawahe ujuring etan
Solasi suling dami
Menyan putih pengundang dewa
Dewa-dewa widadari
Panurunan si patang puluh

Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung dan calung. Perkembangan selanjutnya dalam permainan Angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis (ber-wirahma) dengan pola dan aturan=aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung dan calung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.
http://cianjurtiger.goodforum.net/cianjur-tiger-club-f1/mari-mengenal-angklung-alat-musik-khas-jawa-barat-t70.htm

http://www.visionquest.com.my/galeri1.htm